KEPADA ALLAH AKU BERDOA :

Jika kekasihku berumur pendek,
lebih pendekkan umurku
Agar aku lebih setia darinya
Tetapi jika kekasihku berumur panjang,
lebih panjangkan umurku
Agar dia tahu, betapa besar aku mencintainya

SANG EMBUN PANGERAN SEJATI

Rabu, 28 Desember 2011

Puisi : BAHASAKU

J3-2 Star One House
INDOSAT Training & Conference Center
Jatiluhur Purwakarta 21-22 Desember 2011

Aku bukan sastrawan
Menyetubuhi bahasa
Tetapi tak melahirkan hidup 
dari persetubuhannya

Bukan seniman
Sodorkan keindahan
Tak bertanya kekurangan

Bukan budayawan
Memanfaatkan bahasa
guna mencapai tingkat peradaban
dan kemapanan pemahaman antar kawan

Bukan pula murid keabadian
Terus belajar dan terus
rendah diri pada keadaan

Aku bicara atas nama kebebasan
sebab bahasa lahir dari kasta yang sama
Dan atas nama kesederhanaan
Sebab manis bahasa tergantung keadaan


Jatimulya - Bekasi, 4 Juli 2001
22.09-22.49 WIB

Selasa, 27 Desember 2011

Cerpen : MELIHAT KEBENARAN


Gn Tangkuban Perahu
5 Sept 2011M/ 5 Syawal 1432


Dalam ruam selepas menghadapNya aku pergi ke beranda lantai atas, menganginkan jiwa yang dingin dan kering melebihi puncak gunung Bromo dengan luka-luka pada kepundannya yang akhirnya tak tertahankan. Dan sembab mataku bagai lautan yang dilanda badai hujan semalaman. Membawa pesan-pesan yang kuat dan ancaman gelombang yang dahsyat

₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪

T ETAPI apa yang bisa kulakukan? Membaca kembali tulisan-tulisan yang kubuat? Rasanya tak lebih dari kata-kata dan tak membuatku menjadi lebih bijak dari manusia lain. Mengakrabkan jiwa dan mata? Menerjemahkan dalam bahasa akal mungkin mudah. Tetapi bagaimana mata dapat mengirimkan airnya untuk membasahi dan menyejukkan jiwa? Bagaimana dengan jiwa, dapatkah menerjemahkan bahasa yang diisyaratkan oleh mata dan menerima kehangatannya dalam kebekuan yang menyemesta? Kebekuan yang menulikan pendengaran, menutup pandangan dan kebekuan yang mematikan kata-kata.

Dalam ruam begitu sunyi jiwaku. Mengapa hati dan akal sulit diajak bicara? Padahal baru dua malam yang lalu aku dapat melupakan segala yang dapat membuat hatiku tersentuh. Baik oleh cinta atau apapun yang dapat membuat jiwaku murung. Tetapi mengapa saat datang kegembiraan justru akal berusaha mempengaruhiku untuk meraih kesenangan yang menyedihkan atau menerima kegembiraan yang menyengsarakan? Atau kali ini akal benar? Ataukah kemarin hati yang memang salah? Atau…

“Assalaamualaikum…”

Suara perempuan? Aku terkesiap! Darahku berdesis. Tak ada siapa-siapa… Hanya aku sendiri, selebihnya… Ah, halusinasi.

“Assalaamualaikum…”

Aku kembali mencari asal suara. Sunyi? Tak ada seorangpun…

“Assalaamualaikum…”

Barangkali gema suara hatiku sendiri? Tetapi tak ada salahnya aku menjawab; “Wa alaikum salaam…”

“Kesedihan apa yang kau rasakan?”

Bulu tengkukku berdiri! Kegamangan melingkupiku sesaat. Tetapi kuberanikan diri berbicara; “Kalau tak keberatan sudilah kiranya kau tunjukkan dirimu agar aku tak merasa sedang berhalusinasi”

Tanggung! Karena kakiku seperti dipegangi tangan-tangan yang menyembul dari lantai. Aku tak dapat bergerak!

“Kau sudah melihatku, mendengar suaraku. Apalagi yang kau inginkan?”

Sudah melihat?

“Ya!”

Apa yang dikatakannya? Aku sama sekali tak melihat apapun!

“Kau sudah melihat bahkan menghidupkan aku dalam dirimu”

Menghidupkan dalam diriku? Apakah… Apakah kau… Apakah kau mati malam ini atau kemarin sehingga bergentayangan menyesali perbuatanmu padaku…? Ah! Apa yang kupikirkan? Jika bukan, alangkah lucunya aku di hadapannya. Di hadapan seorang gadis yang menurut perkiraanku usianya terpaut sepuluh sampai 13 tahun di bawahku. Dari tutur katanya, mestinya dia sangat cantik.

“Suaraku memang seperti gadis di bawah usiamu. Tetapi aku telah ada sebelum kau lahir”

Telah ada sebelum aku lahir. Ah…, siapa dia? Dia dapat mendengar apa yang dikatakan hatiku, dipikirkan akalku dan diharapkan oleh jiwaku.

“Aku adalah kebenaran”

“Kebenaran? Halusinasi apapula yang kualami. Sudah teramat parahkah sepi yang kurasakan?

“Aku hadir untuk menguatkan keyakinanmu. Karena kau telah melakukan kebenaran”

“Baik. Tolong ceritakan padaku apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri?”

Kebenaran adalah apabila kau bersedia mendengar tanpa melihat dan berusaha melihat untuk mendengar. Mengharap sesuatu menjadi cantik lewat tutur kata dan ketulusan. Juga sanggup merendah diri dari apa yang telah kau dapatkan dengan tulisan dan tetap mencari kesempurnan dalam perenungan”

“Lalu…?”

“Kurangi prasangkamu yang berlebihan!”

“Maksud Ibu… ehm, Dewi?”

“Kau boleh memanggilku dengan sebutan yang kau suka. Jika kau panggil aku Ibu, jadikan aku Ibu dari hati dan akalmu. Jika Dewi, jadikan aku Dewi dalam jiwamu. Hingga hati dan akalmu dapat berbicara dengan bahasa yang mesra dan penuh kasih sayang. Jangan merasa akan menjadi hal yang lucu jika timbul suara yang berasal dari hatimu. Akui apa adanya. Dan ingat, tidak selamanya kepada dia yang kau curahkan segenap rasa cintamu, sepenuh jiwa pula akan membalas sesuai yang kau harapkan. Bahkan mungkin, tak ada dalam pikirannya sama sekali. Apalagi hingga bergentayangan. Nah… sesaat lagi subuh tiba, mohonlah kekuatan padaNya untuk tetap sabar dan tabah menjalani segala kepahitan yang kau rasakan. Teruslah menulis hingga akan kau temukan apa yang kau cari. Assalaamualaikum…”


₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪

AH, aku tak sempat menjawab salamnya. Aku malah asik membayangkan jika dia menampakkan diri pastilah sangat cantik. Sangat cantik. Dan aku telah melihatnya!



Jatimulya Jaya B/292, 12 Juli 2001
03.57-06.08 WIB

Minggu, 25 Desember 2011

Cerpen : NASIHAT SANG PENYAIR


Kumpulan Puisi dan Cerpen
Judul Buku “SANG EMBUN”
Qoblu Magrib Senin 17102011

Masjid Raya JATIMULYA, Bekasi.




Ketika bumi terbuai di balik selimut hitamnya; nampak seorang yang nampak cukup berumur, tengah memperhatikan perilaku seorang pemuda yang tengah berkonsentrasi dalam kesendiriannya; sebentar menulis, sebentar memandangi bintang yang berkedip-kedip.

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞
             

        Sesaat kemudian dihampiri pemuda itu, diapun berkata ”Berapa hari sudah engkau menyibukkan diri dengan kegiatan seperti ini. Jika boleh ayah tahu, apa yang tengah engkau kerjakan?”
            Si pemuda menoleh kepadanya, lalu jawabnya “Ayah, segala kesedihan telah kutumpahkan dalam tulisanku ini, begitupun perenungan. Jika pada hari kemarin luka begitu menyayat hatiku, ternyata hari ini teramat mengharukanku. Sebab lukalah aku dapat berkaca, sebab duka aku membenahi diri, sebab sedih aku berusaha gembira dan sebab derita aku berusaha bahagia. Ternyata Tuhan menerjemahkan cahayaNya yang dulu belum mampu kubaca. Maka sebagaimana ayah, tunjukkanlah pula jalan untuk menjadi penyair besar kepadaku”.
            Sejenak setelah berpikir, sang ayahpun berkata “Bentangkanlah pandanganmu jauh ke jagat raya. Amati semua bintang yang bertaburan, lalu amatilah satu cahayanya yang paling terang”.
            Si pemuda mengikuti apa yang diperintahkan ayahnya. Namun tidak menemukan apapun dari pandangannya yang penuh teka-teki.
            Hingga sang ayah berkata “Anakku, engkau tidak akan dapat mengukur cahaya salah satu bintang tanpa engkau membandingkan dengan cahaya bintang yang lainnya. Engkau tidak akan pernah menghargai cahayanya tanpa engkau melihat betapa luas dan gelapnya jagat raya ini; Begitupun untuk menjadi penyair yang besar dan bukan sekedar penulis. Bentangkan pandangmu. Tangkap segala yang diisyaratkan semesta dengan kepekaan yang tinggi. Kepekaan dalam memetik tema, kepekaan memilih kata-kata serta kepekaan mengemas agar hasil sentuhan alam pikiranmu memiliki nuansa yang berbeda dengan hasil sentuhan pikiran alam lain.
Belajarlah patuh pada ketentuan. Ketentuan terhadap penulisan kata hingga tanda baca. Kepatuhan menyebabkan seseorang disukai. Bayangkan seandainya bintang tidak mematuhi ketentuan..
Indah karena ada hikmah. Ada sebab maka tulis pula akibat, ada keindahan tentu ada kiasan, ada kekuatan tentu ada perbandingan. Bandingkan dengan kata-kata terbaik dan tulus, sebab tulus bintang selalu bersinar.
Lupakanlah gemerlap duniawi, sebab hanya membuat gelap pandangan dan tumpul nurani. Mengurangi kenikmatan ragawi akan menambah kenikmatan ruhani, selain pikiran dan batinmu akan bertambah peka terhadap nikmatnya pemanfaatan kata demi kata. Semakin kuat penderitaan badan semakin kuat pula pengaruhnya pada pendakian imajinasi. Semua dapat teraih sebagaimana engkau mengalami cerita yang engkau lukiskan. Di mana engkau merasakan perih tanpa terluka, merasakan sedih tanpa airmata, serta merasakan duka tanpa sebab yang menimpa…”
            Dipandanginya si pemuda yang menyimak dengan wajah takjub. Setelah menarik nafas dia melanjutkan kata-katanya “Lihatlah bintang yang paling terang cahayanya itu. Bintang itu jauh dari bintang yang lainnya dan lebih dekat ke bumi. Begitupun, engkau akan diakui sebagai penyair besar bila menghasilkan karya sebanding karya penyair besar lainnya. Itu hanya tercapai jika engkau terus belajar, mau memperbandingkan, indah, mau melepaskan diri dari kehidupan biasa. Dan akan terasa semakin besar jika engkau tiada henti mendekatkan diri pada mereka yang berada di bawahmu”.


                                                           ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞

             Nampaknya si pemuda cukup faham terhadap apa yang telah diterangkan ayahnya dan hendak mencukupkan pula pembicaraan dengannya, lantas diapun  berkata “Ayah, terima kasih atas semua nasihatmu. Kini sampaikanlah padaku pesanmu yang singkat agar aku dapat mengingatnya sepanjang hayatku”.
             Tiba-tiba dada sang ayah terasa senyap; Seperti takut kehilangan, dipandangi wajah si pemuda penuh cinta. Dan dengan nafas tertahan dia berpesan “Siaplah dirimu tersiksa, oleh sebab jiwa yang semakin perasa. Dijauhi saudara, sebab mereka terlalu lelah untuk mengikuti jalan pikiran dan perasaanmu”.
              Si pemuda tersenyum. Digenggamnya tangan ayahnya. Pandangan matanya yang berkilat seakan menusuk ke kedalaman jantung sang ayah. Lalu seperti tercekik dia berkata “Ayah, janganlah merasa khawatir untuk melepasku menjadi penyair yang besar. Bukankah selama ini engkaupun tidak penuh peduli terhadap segala yang terjadi padaku?”
              Penyair tua itu tidak mampu lagi berkata-kata. Kesadaran menekuk suaranya jauh di kegelapan malam. Lalu mengambang di antara bintang-bintang. Bertatapan namun berbicara dengan hatinya sendiri-sendiri.
               Senyap...


Tawes PAM Kemayoran
4 Desember 2002, 07.57-08.22 WIB

Sabtu, 24 Desember 2011

Puisi: BEGITULAH SESUNGGUHNYA

INDOSAT TCC, Jatiluhur
21-22 Desember 2011
Kumpulan Puisi dan Cerpen
Judul Buku 'Maut dan Cinta'


padamu aku sebatang pohon rindang yang
menjulurkan ranting meneduhi

hingga terik tak menyengatmu

begitulah aku sesungguhnya

memaknai hidup atasmu


jika kau tak mengalir sehari

maka bilanglah sewaktu sebab

sehari bagimu adalah tiba sewaktuku

sehari kau tak mengalir dalam getah

merana aku dalam tangis yang menitikkan

helai demi helai daun di wajah tandusmu


atau bilanglah alir telah kau beri

pada rumput atau perdu hingga

kering rantingku dan terus menjulur padamu

meski tiba sebelum waktu
  jatiwaringin, 22 juli 2001
20.20-20.32

Jumat, 23 Desember 2011

Puisi : PENUH PENGERTIAN


Kumpulan Puisi dan Cerpen 'Maut dan Cinta'
karya: Sang Embun Pangeran Sejati


kita dilahirkan bukan dikenalkan
lalu dikenalkan kita pada tuhan
para prajurit dan hulubalang
pada hukum dan ketentuan

bertahun kita mengasah nurani
karena kasih sayang kurang difahamkan
maka kita meraba penuh pengertian

ketajaman akhirnya memberontak
menentang mengikuti aliran
yang diajarkan
tanpa faham
untuk apa ditanamkan

bertahun kita mengasah nurani
karena kasih sayang kurang difahamkan
maka kita meraba penuh pengertian

ketajaman akhirnya mengoyak
mencabik mengikuti jalan
yang diajarkan
tanpa melihat
apa yang difaktakan

bertahun kita mengasah nurani
mencari sebanyak-banyaknya tuhan
mencari bapak ibu yang
mengajarkan kasih sayang
dan faham betul arti kematian
 

Jatimulya Jaya - Bekasi, 12 Nop 2011

Senin, 19 Desember 2011

Cerpen : DOSEN DILAWAN...



PASAR PAGI JATIMULYA, BEKASI 6 Maret 2011
      Pemuda pedagang ikan segar ini seperti tidak punya barisan gigi yang menahan lidahnya. Sebentar mencela kawannya sesama pedagang, sebentar mengomentari orang lain, sebentar kemudian menyanyi.. Tiga, empat kali ini aku bertemu dengannya. Kuakui dia lucu, namun aku sedang kurang mood. Aku ke luar rumah karena bisul di titik syaraf refleksi lutut ini meradang ke mana-mana.. Akhirnya aku trgelitik mncela pemuda ini..
      “Suara jelek saja, nyanyi! Rese'..”
      “Jangan begitu Bang, siapa tahu..?” Dia menyahut dengan nada rendah, mungkin dia pikir aku marah
      “Ya siapa tahu kamu jadi penyanyi tenar..” Jawabku dengan meyakinkan
      “Iya, begitu Bang..” Dia membenarkan, raut wajahnya sumringah penuh harapan
      “Masuk TV.." Lanjutku
      "Iya Bang" Dia makin bersemangat
      "Lalu Abang nontonnya muntah” Aku mencela lagi
      Orang-orang tertawa
      Dia diam sesaat, nampaknya mulai emosi, lalu dia berkata dengan nada lebih tinggi “Bang.. Abang paling-paling cuma punya pisau kecil..”
      Senjata tajam apapun aku koleksi, dia bilang aku cuma punya pisau kecil, “Kau punya clurit ya?” Tanyaku sambil senyum
      “Iya. Saya punya clurit besar!” logat Maduranya mulai jelas
      “Ceritanya nakut-nakuti Abang nih.. Tidak usah pakai clurit.. lihat mukamu saja Abang sudah takut..”
      Semua orang yang ada di situ tertawa terbahak-bahak



#  #  #  #  #
     
      Aku menepuk pundaknya “Sudah.. Nyanyi saja lagi.. Suaramu bagus kok.. Abang senang dengarnya. Bisul abang jadi pecah. Terima kasih ya.. Tapi jangan lama-lama nyanyinya, nanti ikan-ikanmu cepat busuk”
      Dia bengong memandangku saat kutinggalkan. Aku terkekeh dalam hati. Kalau dia mau mengalahkanku dalam soal mencela, ambil kuliah dulu S-2 di Universitas Gajah Mada jurusan Komunikasi Hewan Langka Internasional.. Aku dosennya! Hahaha.. Kalah lagi dia..

Minggu, 18 Desember 2011

Puisi : AKU MENIKAH BUKAN KARENA CINTA


My Bedroom 
Foto jepretan Mas TOTO ASIH, untuk sinetron 
produksi 'Bilqist Entertainment' dan Badan Narkotika Kuningan JABAR 
16 Januari 2010. Kamera Hp N81
-Sang Embun Pangeran Sejati-

Aku menikah bukan karena cinta
namun karena ingin membahagiakan wanita, yang sungguh ingin menikah denganku
Aku menikah bukan karena cinta
Namun karena bayangan akan masa depan yang hebat kucerna dari aroma perkataanmu
Aku menikah bukan karena cinta
Namun karena lembutnya sikap yang kuharap menenangkan jiwaku saat menghadapi amarah hidup dan bisikan sang maut
 
Isteriku..
Jika aku menikah karena cinta atau sesuatu yang kau miliki, tentu sudah lama aku menikah dengan wanita lain
Jika aku menikah karena sesuatu yang ternyata tidak kau miliki, tentu sudah lama kita berpisah
Aku menikah karena ingin kau bangga memiliki aku dengan segala sesuatu yang kutanam, kupelihara dan kuusahakan sepenuh hati untuk menambah keshalehanmu
 
Isteriku..
Aku menikah denganmu karena ingin membelai, memelukmu nikmat dan menghembuskan doa yang hangat saat kepalamu hikmat mendengarkan detak jantungku yang lamat
Aku menikah denganmu karena ingin mencium pipi, bibir dan dahimu setiap pagi sebelum aku pergi menemui malaikat pembagi rezeki, meski kau sedang tidur atau sedang marah sekalipun

Isteriku..
Sudahkah kau mendengar bahwa setiap lelaki kekurangan tulang rusuknya?
Sudahkah kau sadar bahwa separuh urusan agama ditunaikan oleh pernikahan?
Demikianlah aku menikah denganmu  

Melati - Narogong 2 Okt 2011, 11.11 WIB - zuhur

Jumat, 16 Desember 2011

Puisi : EVOLUSI SEPI

Dari buku kumpulan Puisi dan Kata Mutiara 'AIR BURU MATA'
Karya: Sang Embun Pangeran Sejati


Sebagai air aku hampir di muara, tak di pelimbahan, hendak melaut tak sampai apalagi menguap, menggumpal, nitik, barangkali mengembun tak sampai ke bumi

Lalu ku-evaluasi diri. Tapi memori memang waktunya aus dikikis angin yang kutabur berhari-hari sehingga susu yang kuteguk tak putihkan jiwa, air tak beningkan nuansa, Asma tak lekat, telah tak mampu aliri nadi merintih disengat madu bunga-bunga

Baiklah kucoba mandi, ragaku gairah membakar jiwa yang tetap kosong. Batu puisi mati, ada tapi tak berjiwa, mendesah resah dikunci asma-asma yang kabur bersama evolusi sepi

 
PAM III Kemayoran 12 Sept 1997

Kamis, 15 Desember 2011

Puisi : SANG EMBUN I

(1)
jiwaku bebas
tetapi aku bukan burung
yang mengembara ke lembah
lembah bukit gunung hutan
hutan sepi tapi tak mengalir dalam getah
dalam epidermis dalam angka dalam gurat kayumu
dalam akar akar dalam sangkar mencakar
cakar

bukan musafir
berjalan ke padang ke gang
gang kampung kota ke lorong
lorong sempit tapi tak menapak semak
ke serut ke ceruk ke gunduk
dalam rata lingkar almanak dalam telagamu
dalam khatam mengenyam kelam

bukanlah api
membakar ke tungku ke elpiji ke tulang
tulang kremasi ke abu ke arang
arang daratan tapi tak melayang dalam alir arus
arus sungai dalam relung dalam
laut dalam deras hujan dalam beku kutubmu
dalam belenggu sedu

aku sang embun
dibakar tak mati
membias dalam gelas
dalam kepak sayap dalam cawan
dalam tempayan teraba
sejuknya dalam dahagamu-
safir dalam airmata dalam pipa
pipa darah dalam hatimu
terasakah hadirku?

Palem VII Taman Galaxy Bekasi, 28 Juni 2001
09.00-09.45 WIB


(2)
 titik dalam tabik
sepoi dalam sepi
rasa dalam resah
terasakah hadirku?

Fly Over Klender, 29 Juni 2001
21.45-21.57  WIB


(3)
tekur dalam tengkar
tapi dalam tepi
segala dalam segara
bebaskah hadirku?

Fly Over Klender, 29 Juni 2001
22.06-22.09 WIB


(4)
tekur dalam tengkar
tapi dalam tepi
segala dalam segara

tekur dalam tepi
tapi dalam segara
segala dalam tengkar

tekur dalam segara
tapi dalam tengkar
segala dalam tepi

bebaskah kau?

Jatimulya, 29 Juni 2001
03.42-03.44 WIB, 030701

(5)
kurkalaketokngeguliatum
aku sang embun
bebaslah aku dari kungkung

kurkala...
kurkala...

Utan Kayu, 30 Juni 2001
20.08-20.12 WIB


(6)
kur - di sini semesta
dalam ruam dalam diri
dalam dingin dalam sepi batin
panjang

kurkala - irama musik sentak-sentak
orang-orang melempar sukmaku
dalam keping receh menyawer cintamu
di sana  

kurkalaketok - aku membias di gunung
gunung tak sampai menitik di daun
daun bergoyang terperosok ke bunga
bunga bergoyang terkapar di rumput
rumput bergoyang ke mana aku?

kurkalaketokngeguli - tanah tak lorong
tak celah tak tanah tanah
ke mana aku mencarimu?

kurkalaketokngeguliatum
dalam lorong dalam celah dalam tanah
dalam sepi amat-amat dalam sepi tak tamat tamat
dalam sepi semakin dalam sepi sekian kutampar
wajahku di api unggun dan
aku mati berkali-kali

Cisarua, 01 Juli 2001
01.50-02.15  WIB


(7)
sang sinar hangati bumi
anak-anak kembali bercengkrama
seolah tak terjadi tragedi
semalam

bapak dan ibu mereka kembali
bicara soal acara-acara
seperti lupa di antara mereka ada
yang mati berkali-kali

kurkalaketokngeguliatum
setitik wajah setitik resah
kurkalaketokngeguliatum
setitik darah setitik desah
kurkalaketokngeguliatum
setitik hati setitik nyeri
kur setitik berikan caya!

kini titik berkecipak
titik berkilau titik bertemperas
di mata-mata suka
di mata-mata duka
dalam kolam impian
dalam pelampung-pelampung karet
di mata anak-anak yang terbilas
dagingku meloncat menjemput sukma dari matamu

Cisarua, 01 Juli 2001
09.10-09.25 WIB


(8)
kurkala - sampailah aku
di jakarta

kurkalaketok - hilang bias tapi pias
hilang ruam tapi suam hilang dingin
tapi angin hilang sepi aku nyepi
hilang kau kaulah aku!

kurkalaketokngeguli - yo lorong
 yo celah yo tanah ayo kau!

kurkalaketokngeguliatum...
kurkalaketokngeguliatum...
kurkalaketokngeguliatum...

haha hadirlah!!?

Utan Kayu, 2 Juli 2001
08.22-08.36 WIB

Kumpulan Puisi dan Cerpen
Judul Buku 'SANG EMBUN'