KEPADA ALLAH AKU BERDOA :

Jika kekasihku berumur pendek,
lebih pendekkan umurku
Agar aku lebih setia darinya
Tetapi jika kekasihku berumur panjang,
lebih panjangkan umurku
Agar dia tahu, betapa besar aku mencintainya

SANG EMBUN PANGERAN SEJATI

Selasa, 27 Desember 2011

Cerpen : MELIHAT KEBENARAN


Gn Tangkuban Perahu
5 Sept 2011M/ 5 Syawal 1432


Dalam ruam selepas menghadapNya aku pergi ke beranda lantai atas, menganginkan jiwa yang dingin dan kering melebihi puncak gunung Bromo dengan luka-luka pada kepundannya yang akhirnya tak tertahankan. Dan sembab mataku bagai lautan yang dilanda badai hujan semalaman. Membawa pesan-pesan yang kuat dan ancaman gelombang yang dahsyat

₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪

T ETAPI apa yang bisa kulakukan? Membaca kembali tulisan-tulisan yang kubuat? Rasanya tak lebih dari kata-kata dan tak membuatku menjadi lebih bijak dari manusia lain. Mengakrabkan jiwa dan mata? Menerjemahkan dalam bahasa akal mungkin mudah. Tetapi bagaimana mata dapat mengirimkan airnya untuk membasahi dan menyejukkan jiwa? Bagaimana dengan jiwa, dapatkah menerjemahkan bahasa yang diisyaratkan oleh mata dan menerima kehangatannya dalam kebekuan yang menyemesta? Kebekuan yang menulikan pendengaran, menutup pandangan dan kebekuan yang mematikan kata-kata.

Dalam ruam begitu sunyi jiwaku. Mengapa hati dan akal sulit diajak bicara? Padahal baru dua malam yang lalu aku dapat melupakan segala yang dapat membuat hatiku tersentuh. Baik oleh cinta atau apapun yang dapat membuat jiwaku murung. Tetapi mengapa saat datang kegembiraan justru akal berusaha mempengaruhiku untuk meraih kesenangan yang menyedihkan atau menerima kegembiraan yang menyengsarakan? Atau kali ini akal benar? Ataukah kemarin hati yang memang salah? Atau…

“Assalaamualaikum…”

Suara perempuan? Aku terkesiap! Darahku berdesis. Tak ada siapa-siapa… Hanya aku sendiri, selebihnya… Ah, halusinasi.

“Assalaamualaikum…”

Aku kembali mencari asal suara. Sunyi? Tak ada seorangpun…

“Assalaamualaikum…”

Barangkali gema suara hatiku sendiri? Tetapi tak ada salahnya aku menjawab; “Wa alaikum salaam…”

“Kesedihan apa yang kau rasakan?”

Bulu tengkukku berdiri! Kegamangan melingkupiku sesaat. Tetapi kuberanikan diri berbicara; “Kalau tak keberatan sudilah kiranya kau tunjukkan dirimu agar aku tak merasa sedang berhalusinasi”

Tanggung! Karena kakiku seperti dipegangi tangan-tangan yang menyembul dari lantai. Aku tak dapat bergerak!

“Kau sudah melihatku, mendengar suaraku. Apalagi yang kau inginkan?”

Sudah melihat?

“Ya!”

Apa yang dikatakannya? Aku sama sekali tak melihat apapun!

“Kau sudah melihat bahkan menghidupkan aku dalam dirimu”

Menghidupkan dalam diriku? Apakah… Apakah kau… Apakah kau mati malam ini atau kemarin sehingga bergentayangan menyesali perbuatanmu padaku…? Ah! Apa yang kupikirkan? Jika bukan, alangkah lucunya aku di hadapannya. Di hadapan seorang gadis yang menurut perkiraanku usianya terpaut sepuluh sampai 13 tahun di bawahku. Dari tutur katanya, mestinya dia sangat cantik.

“Suaraku memang seperti gadis di bawah usiamu. Tetapi aku telah ada sebelum kau lahir”

Telah ada sebelum aku lahir. Ah…, siapa dia? Dia dapat mendengar apa yang dikatakan hatiku, dipikirkan akalku dan diharapkan oleh jiwaku.

“Aku adalah kebenaran”

“Kebenaran? Halusinasi apapula yang kualami. Sudah teramat parahkah sepi yang kurasakan?

“Aku hadir untuk menguatkan keyakinanmu. Karena kau telah melakukan kebenaran”

“Baik. Tolong ceritakan padaku apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri?”

Kebenaran adalah apabila kau bersedia mendengar tanpa melihat dan berusaha melihat untuk mendengar. Mengharap sesuatu menjadi cantik lewat tutur kata dan ketulusan. Juga sanggup merendah diri dari apa yang telah kau dapatkan dengan tulisan dan tetap mencari kesempurnan dalam perenungan”

“Lalu…?”

“Kurangi prasangkamu yang berlebihan!”

“Maksud Ibu… ehm, Dewi?”

“Kau boleh memanggilku dengan sebutan yang kau suka. Jika kau panggil aku Ibu, jadikan aku Ibu dari hati dan akalmu. Jika Dewi, jadikan aku Dewi dalam jiwamu. Hingga hati dan akalmu dapat berbicara dengan bahasa yang mesra dan penuh kasih sayang. Jangan merasa akan menjadi hal yang lucu jika timbul suara yang berasal dari hatimu. Akui apa adanya. Dan ingat, tidak selamanya kepada dia yang kau curahkan segenap rasa cintamu, sepenuh jiwa pula akan membalas sesuai yang kau harapkan. Bahkan mungkin, tak ada dalam pikirannya sama sekali. Apalagi hingga bergentayangan. Nah… sesaat lagi subuh tiba, mohonlah kekuatan padaNya untuk tetap sabar dan tabah menjalani segala kepahitan yang kau rasakan. Teruslah menulis hingga akan kau temukan apa yang kau cari. Assalaamualaikum…”


₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪

AH, aku tak sempat menjawab salamnya. Aku malah asik membayangkan jika dia menampakkan diri pastilah sangat cantik. Sangat cantik. Dan aku telah melihatnya!



Jatimulya Jaya B/292, 12 Juli 2001
03.57-06.08 WIB

1 komentar:

  1. Sang embun..sesungguhnya kbnran hakiki hnya milik ilahi. Tp selagi ruh msh menyelimuti raga ini, kbnrn hrs dicari dmnpun brda dn dr siapapun. Ktka kbnran ada dr orng yg bkn 'siapa2' mk undzur ma qoola wa la tandzur man qoola.lht apa yg diktkan dan jngn lht siapa yg mengatakan. Kbnrn hrs t'ucap meski tak merdu maka.. qulil haq walau kaana murron, katakan kbnrn itu meski terasa pahit. Wassalam

    BalasHapus